Huni Bekas Sarang Walet, Panti Rehabilitasi Andalkan Donasi Warga

Jarang ada orang yang peduli dengan orang gila. Namun, bagi pasangan Domingus Sayuna dan Deborah, menyembuhkan orang penyakit mental itu adalah panggilan jiwa. Di bekas sarang burung walet di Sukamulya, Cikupa, Kabupaten Tangerang, keluarga Domingus membuat panti rehabilitasi orang gila.
Bangunan bekas sarang burung walet ini memiliki lahan sekitar 500 meter lebih. Sejumlah bangunan sudah direnovasi dan terdapat tiga ruang di dalamnya, yakni satu ruangan isolasi dengan luas sekitar 5×4 meter, satu ruangan istirahat dan satu ruangan istirahat Domingus dan keluarganya. Sisi lain bangunan merupakan lahan kosong yang digunakan untuk ternak bebek, tanaman sayur-mayur dan jemuran.
“Saya menempati lahan ini sejak Juni 2011 lalu. Dulunya bangunan ini sarang walet, cuma karena waletnya pada stres jadi pada pergi. Nah, pemiliknya mempersilahkan kami untuk digunakan,” ungkap Domingus saat ditemui Satelit News kemarin (24/5).
Ada sekitar 15 orang gila yang sedang mengikuti proses rehabilitasi, dengan rincian pria 13 orang dan wanita 2 orang. Menurut Domingus, sudah puluhan orang gila yang berhasil disembuhkan di panti rehabilitasinya. “Prosesnya dengan rehabilitasi, doa, sharing dan puasa,” jelasnya singkat.
Masing-masing penghuni panti memiliki latar belakang berbeda, sehingga menjadi gila. Seperti gagal masuk seleksi tentara, dikeroyok orang, mendadak jatuh miskin, hingga orang yang menuntut ilmu kesaktian namun tidak berhasil. “Macam-macam penyebabnya. Tapi untuk penanganan tetap sama. Saya yakin kalau kita peduli dengan orang yang telantar, urusan kita akan dipermudah,” terangnya.
Domingus mengaku hingga saat ini dirinya belum mendapat bantuan dari pemerintah. Ia berharap agar ke depannya, makin banyak orang peduli dengan orang gila atau telantar.
Bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari? Domingus mengaku hanya mengandalkan uang dari donatur. “Ya seadanya saja. Biasanya dari keluarga pasien suka memberi Rp 100 ribu-Rp200 ribu, kadang dikasihnya tidak setiap bulan. Kalau diitung-itung jelas kurang, apalagi saya juga mengadopsi orang gila di jalan dan saya sembuhkan,” jelasnya. Kendati demikian, hal ini tidak menyurutkan niatnya yang tulus menolong orang gila.
Deborah, istri Domingus mengatakan, perjuangannya menolong orang gila memang tidak mudah. Saat menghuni rumah bekas sarang burung walet itu, sejumlah warga sekitar kerap mencibir. “Bahkan saya dan suami juga sempat dikira orang gila. Tapi itu tidak menjadi masalah, karena saya tulus menolong orang gila,” jelasnya.
Meski warga sekitar panti tidak menolak keberadaan mereka, namun sejumlah warga masih memandang mereka sebelah mata. Bahkan untuk menghindari hal itu, Deborah mengaku kerapkali belanja ke pasar pada malam hari.
“Saya menjaga toleransi dengan warga sekitar, seperti saya belanja pada malam hari,” jelasnya. Dia juga menambahkan jika dari beberapa orang gila yang sembuh, kini sudah hidup normal dan mendapat pekerjaan.
Awalnya, Domingus Sayuna yang berasal dari Kupang memiliki keprihatinan yang tinggi melihat kondisi sosial masyarakat. Nah, sejak saat itu, yakni tahun 1994 dia memilih ke Nganjuk, Jawa Timur. “Disana saya suka ikut kegiatan sosial dan anak asuh di sebuah yayasan,” tuturnya.
Domingus gemar melakukan pembinaan terhadap anak-anak jalanan yang luput dari perhatian pemerintah dan orang-orang kaya. Pengalaman yang banyak mengharuskannya pindah ke Jakarta pada tahun 1996 untuk menyelami masalah sosial di sana. “Di Jakarta banyak orang stres atau gila, kebanyakan karena masalah ekonomi,” ujarnya.
Pria yang kini berusia 45 tahun ini mengaku merasa terdorong dengan orang-orang miskin dan anak jalanan itu. Filosofi yang selalu ditanamkannya, yakni orang-orang terlantar tersebut adalah anak bangsa. “Seperti sebuah dorongan batin,” terangnya.
Domingus juga sempat banting stir bekerja di sebuah pelayaran. Namun, tidak lama karena dirinya merasa terpanggil untuk menolong orang-orang telantar. (aditya)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.