Potret Pengrajin Peci Hitam Pasar Kemis

Bahan Baku Sulit, Nyaris Gulung Tikar

Di sudut Desa Gelam Jaya Kecamatan Pasar Kemis, Samhudi bersama istrinya Salhanah dan empat orang anaknya mempertahankan bisnis keluarga sebagai pembuat peci hitam. Usaha yang dijalani pria usia 40 tahun itu merupakan warisan ayahnya H. Sanusi pengrajin peci hitam tertua di Tangerang yang mulai berkarya sejak tahun 1970-an.  Bisnisnya kini pasang surut, seiring sulitnya mendapatkan bahan baku.
Sosok Samhudi begitu sederhana. Mengenakan kaos lusuh dan sarung, dia merajut bahan untuk membuat peci hitam. Sedikitnya ada delapan mesin jahit untuk membuat peci. Bersama 10 orang pekerja lepas, Samhudi menghabiskan waktu di ruangan berukuran 4×10 meter, ruang home industri peci bermerk Bulan Bintang, H. Sanusi.
“Ayah saya H. Sanusi memulai produksi peci hitam sejak tahun 1970-an. Awalnya ia hanya seorang santri. Terus dia berinisiatif membantu temannya yang ingin memendekan peci. Dari situ ia mulai berkreasi dan mengembangkan keterampilannya. Seiring banyaknya permintaan, usahanya pun mampu bertahan hingga sekarang,” kata Samhudi.
Kebutuhan peci hitam kala itu ramai diminati. Permintaan pesanan datang dari pesantren dan sekolah islam. Bahkan, sejumlah pejabat pemerintah juga tak sedikit yang minta dibuatkan peci. “Ia juga melihat sosok Presiden Soekarno yang gemar memakai peci hitam. Sehingga peci hitam menjadi kebutuhan masyarakat,” tuturnya.
Sejak 20 tahun lalu peci hitam merek Bulan Bintang H. Sanusi ini baru dipasarkan di wilayah Tangerang Raya saja oleh Samhudi. Dia mempertimbangkan banyaknya permintaan dan adanya modal untuk memproduksi peci hingga 10 kodi atau 100 peci. “Peci kami dikenal masyarakat Tangerang, karena usianya yang cukup tua,” bebernya.
Jumlah 10 kodi peci saat itu bisa dipasarkan di lima toko di Tangerang. Salah satu toko yang menjadi langganannya adalah Toko Al Barkah. Harganya dulu sekitar Rp15 ribu dijual di toko, sekarang bisa mencapai Rp70 ribu. “Meski zaman berganti kami tetap menjaga kualitas peci kami. Ayah saya mengajarkan kualitas tetap menjadi unggulan,” ungkapnya.
Sejak krisis moneter menerpa Indonesia, dia mengaku mengalami kendala. Sejumlah pengusaha bahan-bahan peci terutama kain beludru gulung tikar. Untuk membuat peci dibutuhkan kertas semen, duplek, kain saten, kain keras, beludru dan benang.
“Saat ini beludru sulit sekali didapat. Di Pasar Tanah Abang saja dulu ada lima pengusaha kain beludru. Kini hanya tinggal satu, itupun stok kain beludru yang kami inginkan sangat jarang,” tutur Samhudi seraya mengaku sudah dua bulan belum mendapatkan bahan.
Untuk mendapatkan bahan baku, Samhudi nekat menyebrang ke Surabaya. Di Jawa Timur pun tidak mudah mendapatkan kain beludru yang diinginkan. “Kalau lagi ada bahan dan pesanan, sebulan kami bisa produksi 30 hingga 40 kodi. Kalau tidak ada bahan ya tidak produksi,” ucap Samhudi.
Dia mengaku enggan minta bantuan kepada pemerintah karena khawatir dipersulit atau bisnisnya semakin rumit. Informasi yang diterima, di Tangerang Raya ada sekitar 4 pengrajin peci lagi. Dirinya berharap kain beludru bisa banyak didapat seperti dulu.
“Ya kalau kain beludru makin langka bukan tidak mungkin kami gulung tikar karena banyak pengrajin atau pabrik peci hitam yang sudah gulung tikar lebih dulu akibat kondisi ini,” terangnya. (Jarkasih)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.