Jangan Biarkan Sekolah Selalu dalam Zona Nyaman

Undang-undang 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada daerah, utamanya kabupaten dan kota untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan wilayahnya. Termasuk di dalamnya pengembangan dunia pendidikan, kini sepenuhnya diserahkan pemda.
Namun kenyataannya, tidak semua daerah mampu menterjemahkan otonomi tersebut untuk peningkatkan kualitas pendidikan dalam arti yang hakiki. Indikasinya, sampai saat ini, masih banyak sekolah mementingkan pencitraan yang ditandai dengan mengejar angka kelulusan setinggi-tingginya. Akibatnya, begitu dihadapkan pada Ujian Nasional (UN) mucullah sebuah ketakutan.
Demikian dikatakan Kepala Dinas Pendidikan (Kadindik) Provinsi Banten, Hudaya Latuconsina, saat hadir dalam dialog Dari HatikeHati di Kantor Satelit News, Jumat (25/5) sore. ”Daerah berlomba-lomba mengejar target kelulusan,” kata Hudaya.
Tidak hanya itu, salah terjemah otomi pendidikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan juga cukup kentara. Terlebih jika mengikuti standar ukuran, bahwa kesuksesan pendidikan seiring dengan peningkatan kesejahteraan perekonomian.  ”Di Tangerang, kalau anda mau tahu, pabrik kakao membutuhkan ratusan ton kakao mentah setiap harinya. Itu setiap hari. Bayangkan kalau per bulan,  per tahun berapa banyak kakao yang dibutuhkan,” kata Hudaya lagi. Hal itu menurutnya, adalah sebuah lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
Mantan Kepala Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten ini juga menunjukkan contoh lain. Katanya, salah satu pabrik pakan terkenal membutuhkan ribuan ton bahan baku berupa jagung, namun nyatanya bahan baku itu justru dicari dari luar Banten. ”Nah, itu karena apa? Ya karena di wilayah kita ini minim sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan itu. Yang ada lulusan pendidikan sering tidak nyambung dengan apa yang dibutuhkan di industri kerja di daerahnya. Akibatnya adalah, mereka kemudian menganggur,” katanya.
Hudaya bercerita, pernah suatu kali ia menanyai para karyawan sebuah perusahaan. ”Ketika ditanya, kamu berasal dari daerah mana, jawabnya dari Cilacap. Begitu juga saya tanya ke tenaga kerja bagian lainnya, jawabnya sama, dari luar daerah Banten. Lalu masyarakat Bantennya dimana? Mengapa tidak ada?” keluhnya.
Harus diakui katanya, dalam konteks NKRI, kondisi itu memang bukan masalah. Namun, dalam konteks otonomi daerah, ini tentu saja ada yang salah. ”Pertanyaan yang muncul kemudian tidakkah ada tenaga kerja lokal yang mumpuni? Lalu bagaimana tanggungjawab sekolah sebagai pihak yang mencetak sumber daya manusia?” terangnya.
Persoalan tidak hanya bermula di situ. Tidak optimalnya pengenalan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan wilayah juga menyumbang rendahnya ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan. ”Di Lebak misalnya, dibangun SMK Pertanian. Nah, saat pendaftaran, ternyata yang berminat hanya 13 orang. Padahal berdasarkan ketentuan minimal jumlah murid haruslah 20 orang. Mereka akhirnya disalurkan ke sekolah lain. Sekolah sendiri akhirnya memilih membuka tahun depan. Tapi apa yang terjadi, jika tahun sebelumnya jumlah muridnya 13 orang, namun di tahun berikutnya hanya 12 orang saja,” katanya.
Kondisi ini belum lagi ditambah rendahnya angka partisipasi pendidikan menengah di Banten, meski pada partisipasi tingkat dasar melampaui target. ”Kita boleh saja bangga bahwa angka partisipasi untuk pendidikan dasar di atas 100 persen, bahkan di bawah umur tujuh tahun juga sudah banyak yang mengenyam pendidikan dasar. Tapi perlu diingat, angka partisipasi pendidikan menengah kita, yakni SMA/sederajat kita lebih rendah dari Papua, hanya berkisar 60,62 persen. Inikan seharusnya tidak boleh terjadi di Banten,” katanya.
Karena itu, kata Hudaya, mulai tahun depan Pemprov akan menggelontorkan dana dalam rangka peningkatan kualitas sekolah. Salah satunya, adalah untuk merealisasikan  rencana perbaikan kelas sekolah dasar di Banten. ”Tapi saya pikir hal itu saja tidak cukuplah, tidak sesederhana itu. Toh itu bukan sesuatu yang begitu rumit, di Kota Tangerang persoalan perbaikan kelas nyatanya beres dalam waktu setahun. Tapi yang terpenting adalah bagaimana menyajikan pendidikan yang memang berkesesuaian dengan kebutuhan di masyarakat,” katanya.
Karenanya, pihaknya saat ini tengah merancang sebuah kerjasama dengan salah satu produsen kendaraan roda dua. ”Saya sempat bertemu dengan salah satu pejabat perusahaan sepeda motor. Saya dapat informasi bahwa tingkat penjualannya yang tinggi. Dengan tingginya angka penjualan sepeda motor, tentu mereka akan banyak memberi servis pasca transaksi. Nah, tenaga-tenaga inilah yang akan kita coba isi, misalnya saja untuk di bengkel-bengkel, dan kata mereka tidak ada masalah,” katanya.
Dia kemudian coba membandingkan sistem pendidikan Indonesia dengan China yang dinilainya tidak sekedar menjadi “alat cetak”. ”Kalau di China, jika ada siswa lulusannya tidak diterima di perguruan tinggi yang dia minati atau kesusahan mencari pekerjaan, maka sekolah akan terus memonitor perkembangan, apa penyebabnya,” ujarnya. Jika anak tersebut ternyata benar-benar bermasalah karena pendidikannya, maka sekolah akan mentreatment kembali sampai ia benar-benar bisa. ”Jadi sekolah masih mempunyai tanggungjawab moral atas anak didiknya meski telah lulus,” jelasnya.
Kondisi ini, katanya, amat berbeda dengan di tanah air dimana sekolah hanya merasa perlu bertanggungjawab sampai sang anak dinyatakan lulus. ”Mohon maaf, jangan heran bila kemudian Kota Tangerang meski tingkat kelulusannya tertinggi, justru penganggurannya paling banyak di Banten,” katanya.
Lebih dari itu, dalam pandangan Hudaya mental masyarakat dalam memandang sekolah juga perlu diubah. Sekolah katanya, terlalu lama dibiarkan dalam zona nyaman. ”Orangtua tidak protes ketika anaknya kesulitan melanjutkan ke perguruan tinggi yang diinginkan, orangtua diam ketika anaknya kesulitan mendapat pekerjaan lantaran ketidaksesuaian ilmu yang didapat,” tambahnya.
Sudah saatnya lanjut pria yang pernah berprofesi sebagai guru ini, orangtua harus protes kepada sekolah ketika anaknya tidak bisa mencapai cita-cita karena sistem pengajaran yang didapatnya tidak tepat. ”Saya sudah sering kencang mengutarakan protes sekolahnya jika anak kita ternyata tidak dapat bersaing, tuntut sekolah agar mampu menjamin kualitas pendidikan anak kita ke depan,” pungkasnya.(made)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.