Mampir Makan Bakso Mang Oedin, Dipanggil Ivan Gunawan

Cerita Perjalanan Umrah Bersama Malika Tour & Travel (5)

DEDDY MAQSUDI

TAK terasa, sudah empat hari kami lalui di Kota Mekah. Kini, rombongan umrah Malika Tour & Travel harus beranjak ke Madinah un­tuk berziarah ke makam Rasu­lallah Saw.

Jumat (30/3), usai Salat Subuh di Masjidil Haram, kami bertiga menuju Tasneem Restaurant, tempat makan jamaah haji In­donesia di Tower Zamzam. Di situ, kita bertiga cuma minum kopi sambil ngobrol pengala­man ritual masing-masing. Karena untuk sarapan, jatah rombongan Malika Tour & Trav­el adalah di restoran tempat kami menginap.

Dari meja tempat kami ngopi, saya melihat seseorang yang su­dah tidak asing. Orang tersebut sedang duduk menikmati sara­pan di meja tak jauh dari tempat kami. Terlihat dia sibuk menel­epon seseorang. Dari nada bi­caranya, sepertinya obrolan serius. Cukup lama dia menel­pon. Sementara di depan dia duduk, tampak seorang wanita menemani.

Saya penasaran dan ingin menghampiri untuk sekadar menyapa. Tapi rasa penasaran itu saya tunda dulu. Itu karena dia masih sibuk menelpon. Setelah selesai, barulah saya memberanikan diri menyapa orang tersebut. “Assalamualai­kum Ustadz,” sapa saya lalu me­

nyodorkan tangan untuk salaman. “Waalaikumsalam,” jawab dia memajukan kepalanya un­tuk cipika-cipiki. “Apa kabar? Kemana saja, jarang keliatan. Subhanallah, kita bisa ketemu di sini,” kata dia.­

“Alhamdulillah Ustadz, kabar baik,” jawab saya. “Gimana-gi­mana, kapan nyampe Mekah?” tanya Ustadz. “Dari hari Senin, siang ini mau berangkat ke Ma­dinah,” jawab saya.

Dua teman saya yang tadi cuma melihat dari jauh akh­irnya ikut nimbrung mendekat. “Ini teman satu rombongan saya Ustadz,” saya mengenalkan ked­ua teman ini.

Orang tersebut adalah Ketua Fraksi PKS di DPR RI, H Jazuli Juwaini. Dia merupakan man­tan calon Bupati Tangerang dan mantan calon Gubernur Bant­en. “Bagaimana Ustadz, untuk 2019,” tanya saya yang menda­dak muncul naluri reportasenya.

“Tahun depan saya sudah ti­dak di Dapil Tangerang lagi. Saya pindah di Dapil Serang, gantiin Pak Zulkieflimansyah yang men­calonkan diri di pilkada NTB,” katanya.

Karena sepertinya Ustadz Ja­zuli sedang diburu waktu, mo­men pertemuan pun berlang­sung singkat. Sebelum beranjak pergi, kami sempat berswafoto bersama dan bertukar nomor telepon. “Nanti di Tanah Air kabar-kabari ya,” kata Ustadz Ja­zuli lalu beranjak pergi mening­galkan kami bertiga.

Tak berselang lama, kami bertiga juga beranjak ke hotel untuk sarapan. Sampai di lobi, sudah ada Ustadz Abdul Rah­man, pembimbing umrah kami. “Jam 08.00 ngumpul di lobi ya, kita bersama-sama menunaikan tawaf wada (perpisahan),” kata Ustadz Abdul Rahman. Kami semua mengangguk.

Tiba di restoran hotel, kami semua sarapan. Menunya be­ragam. Untuk sarapan di pagi itu, saya memilih roti India di­campur dengan daging. Tidak lupa minum yoghurt serta madu yang berguna untuk daya tahan tubuh.

Tepat pukul 08.00, kami semua berkumpul di lobi. Tawaf wada sama seperti tawaf umrah, bedanya tawaf wada tidak me­wajibkan menggunakan pakaian ihrom. Setelah melaksanakan tawaf wada, jamaah dianjurkan untuk tidak ke Masjidil Haram lagi. “Nanti salat Jumatnya di musala Tower Zamzam ya,” kata Ustadz Abdul Rahman.

Musala Tower Zamzam le­taknya di area P9 atau lantai Sembilan untuk laki-laki, sedan­gkan untuk perempuan ada di P10 atau lantai 10. Musalanya luas, bersih, karpetnya empuk, dan tentu saja karena ada di area dalam hotel, musala tersebut ter­dapat pendingin udara. Setelah salat Jumat dan makan siang, kami semua bersiap melanjutkan perjalanan ke Madinah.

Jarak antara Kota Mekah dan Madinah sekitar 400 kilometer lebih. Kurang lebih memakan waktu 5 sampai 6 jam perjalanan darat. Dalam perjalanan, kami singgah di Kota Jedah untuk membeli oleh-oleh di pasar fa­vorit di sana, Pasar Balad. Pasar ini menjadi destinasi belanja baik jamaah haji maupun ja­maah umrah asal Indonesia.

Bahkan karena sangking seringnya jadi tempat belanja jamaah asal Indonesia, puluhan kios di pasar ini memberi nama tokonya dalam bahasa Indo­nesia seperti ‘Toko Ali Murah’, ‘Toko Indonesia’ dan lain-lainya.

Para pedagang di pasar ini pun mahir berbahasa Indone­sia. Tidak sedikit toko di pasar tersebut mempekerjakan orang Indonesia. Wajar, jamaah berasa belanja di Pasar Tanah Abang yang lengkap, mau cari apa saja ada. “Silakan tuan Ivan Gu­nawan, di sini murah-murah,” rayu seorang pedagang sambil mengajak saya masuk ke dalam tokonya.

Pedagang di Pasar Balad kerap menyebut nama jamaah Indo­nesia dengan sebutan nama ar­tis atau tokoh terkenal Indone­sia. Kalau yang laki-laki mereka memanggilnya Ivan Gunawan, Rafi Ahmad atau Yusuf Mansyur. Banyak juga yang menyebut nama Habib Rizieq. Sedangkan bagi jamaah perempuan, mer­eka memanggilnya Syahrini atau Megawati.

Beragam cendera mata khas Tanah Suci dijual di Pasar Balad, dimulai dari tasbih, sajadah, abaya, kafiyeh (sorban), pas­mina, karpet, dan lainnya di­jajakan rapih di pasar modern yang sangat luas ini.

Sama seperti pasar Tanah Abang yang dikenal luas memi­liki koleksi lengkap, Pasar Balad juga didominasi produk im­por. Yang mendominasi adalah produk dari China atau Tiong­kok. Selebihnya adalah impor dari India, Pakistan, Turki, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Bagi yang kangen makan bak­so, di Pasar Balad terdapat wa­rung bakso yang cukup terkenal. Namanya Bakso Mang Oedin. Selain menyediakan bakso, di kedai tersebut jamaah juga bisa memesan mie goreng, nasi gore­ng, nasi campur, bubur ayam dan mie ayam. Bahkan pempek pun ada. Soal rasa, jangan ditan­ya, dijamin mirip dengan bakso-bakso yang ada di Indonesia. (*/bersambung)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.